Menjelang sidang tahunan (ST) MPR 2001, pernah
terdengar pernyataan Ahmad Sumargono sebagai
wakil ketua dari fraksi PBB di DPR tentang keingin-
annya untuk membawa dan memperjuangkan aspi-
rasi umat Islam (sebagian tentunya) untuk mem-
berlakukan Piagam Jakarta, khususnya pada peng-
gal kalimat: $B!H(BKe-Tuhanan dengan kewajiban menja-
lankan syari$B!G(Bat Islam bagi pemeluk-pemeluknya$B!I(B
(nukilan sebagian kecil (10% saja) dari alinea 4 Piagam
Jakarta).
Kosekuensinya, pasal 29 batang tubuh UUD-1945
yang mengatur tentang agama di negeri ini tentunya
juga harus berubah menjadi:
1) Negara berdasar atas Ke-Tuhanan dengan kewajiban
menjalankan syari$B!G(Bat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Suatu rumusan yang berpotensi membawa kemunduran
bagi agama Islam, bila dirasa agama itu justru memberat-
kan umat awam. Agama itu sangat boleh jadi ditinggalkan
oleh penganutnya, lantaran terlalu dicampuri oleh negara (kekuasaan).
Apalagi dalam PJ yang dianut bukan undang-
undang dasar melainkan hukum dasar.
Itu adalah konsekuensi logis bila Piagam Jakarta (PJ)
diinkorporasikan ke dalam Pembukaan UUD-1945 (PU45).
Bahkan mungkin akan mengganti seluruh PU45 itu, meng-
ingat tiga alinea pertama antara PJ dan PU45 adalah
identik. Bunyi rangkaian kalimat alinea ke-4 dalam PJ
adalah sebagai berikut:
$B!H(BKemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu HUKUM Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada
Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syari$B!G(Bat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya; menurut dasar
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.$B!I(B
Sedang dalam PU45 pada alineha ke-4 terdapat
perbedaan prinsip terutama dalam menyatakan
sifat manusia Indonesia yang dihubungkan dengan
kebertuhanan dan berkehidupan sebagai rakyat
Indonesia sebagai berikut:
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejah-
teraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UNDANG-
UNDANG Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Perbedaan prinsip penting yang mungkin sering tidak
diperhatikan oleh pendukung PJ maupun pendukung
PU45 adalah istilah HUKUM dasar (pada PJ) dan
UNDANG-UNDANG (dasar pada PU45). Meskipun
pengetahuan tentang hukum dan ketatanegaraan
terbatas, penulis berpendapat bahwa HUKUM dasar
berbeda sekali dengan UNDANG-UNDANG dasar
dalam maknawinya. Hukum berarti mengandung konotasi
$B!F(Beksekusi$B!G(B bagi para pelanggarnya. Atau, begitu suatu
hukum tidak dipenuhi, maka kondisi yang diaturnya
tidak akan berjalan. Sedang Undang-undang lebih
banyak (barangkali) menyangkut ketatanegaraan
atau organisasi suatu penyelenggaraan negara.
Padahal dalam keduanya sesuatu yang disusun
dalam HUKUM dasar dan UNDANG-UNDANG dasar
itu adalah sama, yaitu KEMERDEKAAN KEBANGSAAN
INDONESIA. Itu hal pertama yang perlu diperhatikan
dari segi bahasa. Toh para ahli hukum, khususnya
yang bergerak pada profesi advokasi, biasanya sangat
teliti dengan yang begini-begini, bukan?
Ortodok dan Liberal dalam Islam
Pada suatu acara TV dengan judul Recovery Indonesia
yang dipandu oleh A.R. Mallarangeng, menghadirkan tokoh
partai Keadilan (bahkan presidennya) Hidayat Nur Wahid
(HNW) dan Ulil, dengan satu pengamat politik yang penulis
lupa namanya. Di acara itu muncul lagi wacana pendukungan
PJ oleh HNW dan dapat disebut kontranya dari Ulil.
Pengamat politik menstigmai HNW sebagai wakil ortodoksi
pemikiran Islam, sedang Ulil dari pihak liberal, meskipun
tidak kentara.
Berhubung yang berbicara adalah tokoh-tokoh dalam
keagamaan, maka dalam memperbandingkan PJ dan PU45
hendaknya juga memfokus pada keberagamaan,
keberketuhanan dan sikap hidup rakyat Indonesia
dalam mengarungi Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia
seperti yang dirumuskan oleh para penyusun dan
penggagas kedua konsep kenegaraan itu.
Bila diteliti secara kebahasaan, antaraPJ dan PU45
yang hanya berbeda beberapa larik rangkaian kata
di alinea ke-4 itu ternyata menunjukkan perbedaan
yang sangat -sangat signifikan. Marilah kita tinjau lebih
teliti kedua alinea ke-4 itu dimana letak perbedaannya.
Dalam PJ disebutkan bahwa $B!H(B----Kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu HUKUM Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasarkan kepada Ke-Tuhanan dengan kewajiban
menjalankan syari$B!G(Bat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.$B!I(B Sedangkan dalam PU45
menjadi berbunyi: $B!H(B--- Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu UNDANG-UNDANG Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,
dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.$B!I(B
Memang tidak begitu kentara, tetapi sangat-sangat berbeda.
Yang jelas pada PJ tidak dikenal istilah Ketuhanan Yang
Maha Esa, melainkan cukup hanya Ke-Tuhanan dengan
kewajiban dan seterusnya yang merupakan suatu syarat
bertuhan tersebut. Pengertian Ber-Tuhan dengan Ber-Tuhan
Yang Maha Esa jelas berbeda sekali. Pada PJ tidak ada
syarat bagi Tuhan itu sendiri, melainkan syarat itu hanya
ada khusus pada umat Islam saja. Jadi menurut PJ,
manusia Indonesia boleh BerTuhan apa dan siapa saja.
Kecuali Umat Islam; asal dalam bertuhan tadi menurut
dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pada PU45 jelas ditegaskan Tuhan dalam berketuhanannya
bangsa Indonesia yang merdeka tak lain adalah Tuhan
Yang Maha Esa. Syarat bagi manusia penyembah tuhannya
tidak ada syarat apa-apa lagi, karena syarat itu telah
terpenuhi pada SIAPA Tuhan yang dituhankan oleh bangsa
Indonesia. Jadi penulis merasa heran dengan pendapat
Ahmad Sumargono dan HNW tentang dukungan mereka
terhadap PJ itu. Dengan mendukung faham berketuhanan
yang tidak mensyaratkan kemaha-esaan Tuhan yang
dituhankan bukankah justru bertentangan dengan aqidah
yang dianut oleh beliau-beliau itu?
Apakah para pendukung PJ itu lebih terkesima dengan
rangkaian kata-kata $B!F(Bdengan kewajiban menjalankan....$B!G(B dst
daripada mempertimbangkan substansinya sehingga
melupakan aqidah pegangannya masing-masing? Lagi pula
apakah lazim negara mengurusi kewajiban beragama
rakyatnya kemudian memberikan $B!F(Bhukuman$B!G(B bagi para
pelanggarnya? Atau bukankah sudah dengan sendirinya,
kewajiban umat agama tertentu itu menjalankan syari$B!G(Bat
agama yang dipeluknya itu? Jadi memang lain cara
pandang pemikian ortodok dan liberal dalam Islam.
Kedaulatan dalam PJ dan PU45
Masalah ini juga sering tidak dicermati rupanya baik oleh
pendukung maupun yang kontra terhadap implementasi
PJ. Sekilas menang Negara Republik Indonesia yang
dirumuskan dalam PJ maupun PU45 adalah sama. Suatu
negara republik, bukan kerajaan, yang BERKEDAULATAN
RAKYAT. Bila boleh disetarakan dengan istilah yang lebih
umum adalah Negara Republik Indonesia yang Demokratis.
Sehingga dapatlah diartikan sebagai Negara Republik
Demokrasi Indonesia.
Dalam PU45 rumusan negara republik yang demokratis itu
sangatlah indah, karena rumusan dasar bernegaranya sudah
berupa anak-anak kalimat yang relatif mandiri. Negara
Republik Demokrasi Indonesia itu adalah negara yang:
1) rakyatnya Bertuhan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Apakah ada yang berani menafsirkan ada bermacam-
macam tuhan dengan imbuhan kondisional Tuhan Yang
Maha Esa? Tuhan bangsa Indonesia adalah satu.
2) ber-kemanusiaan yang adil dan beradab. Mengingat
bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk.
3) bersatu dalam Persatuan Indonesia; mengingat
wilayah geografis negeri yang berpulau-pulau dan
sangat luas. Kemajemukan suku bangsa dan budaya
serta kondisi kepulauan mensyaratkan persatuan
untuk lahir sebagai satu bangsa dalam satu negara.
4) berkehidupan atau berkedaulatan rakyat dengan
pucuk pimpinan adalah hikmah-2 yang dicapai baik
dalam permusyawaratan maupun mufakat-mufakat
bijak dalam sistem perwakilan. 5) dengan sistem
kehidupan berbangsa dalam kerakyatan yang demikian,
artinya bertuhan yang mahaesa, berkemanusiaan
yang adil dan beradap, dan bersatu, maka diharapkan
dapat mewujudkan keadilan sosial (keadilan dalam
bermasyarakat) seluruh rakyat Indonesia.
Bagaimanakah dengan PJ? Rakyat Indonesia yang
dirumuskan dalam PJ adalah 1) sekedar bertuhan,
kecuali untuk umat Islam yang perlu persyaratan,
yang berarti melanggar ketentuan berikutnya yaitu
2) menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradap.
Adanya pengecualian dalam bertuhan, tentunya
berpotensi untuk merapuhkan 3) Persatuan Indonesia.
4) Sistem kerakyatan atau menjalankan kedaulatan
rakyatnya jauh berbeda dengan PU45, walaupun
hanya dibedakan oleh tanda $B!H(B/$B!I(B. Dalam PJ jelas
yang bermusyawarah hanyalah perwakilan rakyat
saja. Wakil rakyat akan menjadi super-body. Mungkin
seperti keadaan parlemen sekarang ini adalah salah
satu embrio implementasi sistem kerakyatan dalam
PJ, yang ternyata tidak mampu mewujudkan
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Melainkan cukup di tingkat para wakil rakyat saja