Senin, 14 Desember 2009

sasaran dan tujuan PKN

Sasaran Jurusan PKN
Program Studi PKn sebagai bagian integral dari FPIPS UPI mempunyai sasaran sebagai berikut :
  1. Melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat sesuai dengan misi Tri Dharma Perguruan Tinggi dan amanat Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
  2. Mendidik calon-calon guru prajabatan dan dalam jabatan profesional untuk jenjang SMP/MTs dan SMA/MA/SMK dalam bidang studi PKn.
  3. Mempersiapkan sumber daya manusia terdidik, calon dosen, penatar dan konsultan pendidikan dalam bidang PKn.
Tujuan Jurusan PKN
  1. Menghasilkan lulusan tenaga kependidikan PKN dan Tata Negara yang profesional dan memiliki daya kompetitif tinggi.
  2. Menghasilkan berbagai karya ilmiah yang terkait dengan “body of knowledge” dalam pendidikan disiplin ilmu dan disiplin ilmu politik, hukum, kenegaraan dan kewarganegaraan.

tujuan mata kuliah pkn

Matakuliah Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) bertujuan untuk membekali Anda dalam memilih, mengadaptasi dan menerapkan Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dengan berbagai model secara kontekstual, kreatif, inovatif dan menyenangkan. Mata kuliah ini mengajak Anda untuk mendalami Strategi Pembelajaran PKn di sekolah menengah, dengan maksud agar Anda yang nota bene adalah guru, baik yang mengajar pada tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama maupun Sekolah Menengah Atas akan senantiasa siap dan penuh percaya diri sebagai seorang guru PKn yang profesional.
Secara umum, melalui pembahasan materi mata kuliah tersebut diharapkan Anda memiliki kemampuan profesional yang baik.
Setelah Anda mempelajari materi mata kuliah ini, Anda diharapkan dapat:
  1. Menjelaskan hakikat dan jenis-jenis strategi pembelajaran.
  2. Menjelaskan prosedur umum pembelajaran dan pembelajaran yang efektif.
  3. Menjelaskan tentang keterampilan dasar mengajar.
  4. Menjelaskan metode mengajar.
  5. Menjelaskan media pembelajaran.
  6. Menjelaskan model-model belajar dan rumpun model mengajar.
  7. Menjelaskan hakikat dan karakteristik Model Teoritik Pembelajaran PKN di Sekolah Menengah.
  8. Menjelaskan model pembelajaran PKn yang berorientasi pendidikan nilai dan moral Pancasila (Value & moral development).
  9. Menjelaskan model pembelajaran PKn yang berorientasi pengembangan keterampilan pemecahan masalah yang terkait pada peran warga negara dalam proses kebijakan publik (civic skills).
  10. Menjelaskan model-model pembelajaran PKn yang berorientasi pengembangan wawasan kewarganegaraan ( Civic knowledge).
  11. Menjelaskan model-model pembelajaran PKn yang berorientasi pengembangan keterampilan partisipasi kewarganegaraan (civic participation).
  12. Menjelaskan model-model pembelajaran PKn yang berorientasi pada pengembangan tanggungjawab kewarganegaraan (civic responsibility).

hubungan proklamasi,pancasila dan pembukaan uud 1945

PROKLAMASI adalah pernyataan sebuah negara bahwa negara Indonesia berdaulat penuh .. MERDEKA, karena menjadi sebuah negara yang berdaulat penuh maka perlu adanya Undang-Undang Dasar (seperti AD/ART kalau di Organisasi) yang disebut UUD 45 , karena UUD 45 merupakan sebuah tatanan dasar sebuah negara maka perlu dibuatkan sebuah pengantar Undang Undang yang disebut PEMBUKAAN UUD 45, yang didasari oleh PANCASILA sebagai Pedoman Negara

perbedaan piagam jakarta dengan pembukaan uud 1945

Menjelang sidang tahunan (ST) MPR 2001, pernah
terdengar pernyataan Ahmad Sumargono sebagai
wakil ketua dari fraksi PBB di DPR tentang keingin-
annya untuk membawa dan memperjuangkan aspi-
rasi umat Islam (sebagian tentunya) untuk mem-
berlakukan Piagam Jakarta, khususnya pada peng-
gal kalimat: $B!H(BKe-Tuhanan dengan kewajiban menja-
lankan syari$B!G(Bat Islam bagi pemeluk-pemeluknya$B!I(B
(nukilan sebagian kecil (10% saja) dari alinea 4 Piagam
Jakarta).

Kosekuensinya, pasal 29 batang tubuh UUD-1945
yang mengatur tentang agama di negeri ini tentunya
juga harus berubah menjadi:
1) Negara berdasar atas Ke-Tuhanan dengan kewajiban
    menjalankan syari$B!G(Bat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
    untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
    beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Suatu rumusan yang berpotensi membawa kemunduran
bagi agama Islam, bila dirasa agama itu justru memberat-
kan umat awam. Agama itu sangat boleh jadi ditinggalkan
oleh penganutnya, lantaran terlalu dicampuri oleh negara (kekuasaan).
Apalagi dalam PJ yang dianut bukan undang-
undang dasar melainkan hukum dasar.

Itu adalah konsekuensi logis bila Piagam Jakarta (PJ)
diinkorporasikan ke dalam Pembukaan UUD-1945 (PU45).
Bahkan mungkin akan mengganti seluruh PU45 itu, meng-
ingat tiga alinea pertama antara PJ dan PU45 adalah
identik. Bunyi rangkaian kalimat alinea ke-4 dalam PJ
adalah sebagai berikut:
$B!H(BKemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu HUKUM Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada
Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syari$B!G(Bat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya; menurut dasar
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.$B!I(B

Sedang dalam PU45 pada alineha ke-4 terdapat
perbedaan prinsip terutama dalam menyatakan
sifat manusia Indonesia yang dihubungkan dengan
kebertuhanan dan berkehidupan sebagai rakyat
Indonesia sebagai berikut:
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejah-
teraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UNDANG-
UNDANG Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.

Perbedaan prinsip penting yang mungkin sering tidak
diperhatikan oleh pendukung PJ maupun pendukung
PU45 adalah istilah HUKUM dasar (pada PJ) dan
UNDANG-UNDANG (dasar pada PU45). Meskipun
pengetahuan tentang hukum dan ketatanegaraan
terbatas, penulis berpendapat bahwa HUKUM dasar
berbeda sekali dengan UNDANG-UNDANG dasar
dalam maknawinya. Hukum berarti mengandung konotasi
$B!F(Beksekusi$B!G(B bagi para pelanggarnya. Atau, begitu suatu
hukum tidak dipenuhi, maka kondisi yang diaturnya
tidak akan berjalan. Sedang Undang-undang lebih
banyak (barangkali) menyangkut ketatanegaraan
atau organisasi suatu penyelenggaraan negara.
Padahal dalam keduanya sesuatu yang disusun
dalam HUKUM dasar dan UNDANG-UNDANG dasar
itu adalah sama, yaitu KEMERDEKAAN KEBANGSAAN
INDONESIA. Itu hal pertama yang perlu diperhatikan
dari segi bahasa. Toh para ahli hukum, khususnya
yang bergerak pada profesi advokasi, biasanya sangat
teliti dengan yang begini-begini, bukan?

Ortodok dan Liberal dalam Islam
Pada suatu acara TV dengan judul Recovery Indonesia
yang dipandu oleh A.R. Mallarangeng, menghadirkan tokoh
partai Keadilan (bahkan presidennya) Hidayat Nur Wahid
(HNW) dan Ulil, dengan satu pengamat politik yang penulis
lupa namanya. Di acara itu muncul lagi wacana pendukungan
PJ oleh HNW dan dapat disebut kontranya dari Ulil.
Pengamat politik menstigmai HNW sebagai wakil ortodoksi
pemikiran Islam, sedang Ulil dari pihak liberal, meskipun
tidak kentara.

Berhubung yang berbicara adalah tokoh-tokoh dalam
keagamaan, maka dalam memperbandingkan PJ dan PU45
 hendaknya juga memfokus pada keberagamaan,
keberketuhanan dan sikap hidup rakyat Indonesia
dalam mengarungi Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia
seperti yang dirumuskan oleh para penyusun dan
penggagas kedua konsep kenegaraan itu.

Bila diteliti secara kebahasaan, antaraPJ dan PU45
yang hanya berbeda beberapa larik rangkaian kata
di alinea ke-4 itu ternyata menunjukkan perbedaan
yang sangat -sangat signifikan. Marilah kita tinjau lebih
teliti kedua alinea ke-4 itu dimana letak perbedaannya.

Dalam PJ disebutkan bahwa $B!H(B----Kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu HUKUM Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasarkan kepada Ke-Tuhanan dengan kewajiban
menjalankan syari$B!G(Bat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.$B!I(B Sedangkan dalam PU45
menjadi berbunyi: $B!H(B--- Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu UNDANG-UNDANG Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,
dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.$B!I(B

Memang tidak begitu kentara, tetapi sangat-sangat berbeda.
Yang jelas pada PJ tidak dikenal istilah Ketuhanan Yang
Maha Esa, melainkan cukup hanya Ke-Tuhanan dengan
kewajiban dan seterusnya yang merupakan suatu syarat
bertuhan tersebut. Pengertian Ber-Tuhan dengan Ber-Tuhan
Yang Maha Esa jelas berbeda sekali. Pada PJ tidak ada
syarat bagi Tuhan itu sendiri, melainkan syarat itu hanya
ada khusus pada umat Islam saja. Jadi menurut PJ,
manusia Indonesia boleh BerTuhan apa dan siapa saja.
Kecuali Umat Islam; asal dalam bertuhan tadi menurut
dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Pada PU45 jelas ditegaskan Tuhan dalam berketuhanannya
bangsa Indonesia yang merdeka tak lain adalah Tuhan
Yang Maha Esa. Syarat bagi manusia penyembah tuhannya
tidak ada syarat apa-apa lagi, karena syarat itu telah
terpenuhi pada SIAPA Tuhan yang dituhankan oleh bangsa
Indonesia. Jadi penulis merasa heran dengan pendapat
Ahmad Sumargono dan HNW tentang dukungan mereka
terhadap PJ itu. Dengan mendukung faham berketuhanan
yang tidak mensyaratkan kemaha-esaan Tuhan yang
dituhankan bukankah justru bertentangan dengan aqidah
yang dianut oleh beliau-beliau itu?

Apakah para pendukung PJ itu lebih terkesima dengan
rangkaian kata-kata $B!F(Bdengan kewajiban menjalankan....$B!G(B dst
daripada mempertimbangkan substansinya sehingga
melupakan aqidah pegangannya masing-masing? Lagi pula
apakah lazim negara mengurusi kewajiban beragama
rakyatnya kemudian memberikan $B!F(Bhukuman$B!G(B bagi para
pelanggarnya? Atau bukankah sudah dengan sendirinya,
kewajiban umat agama tertentu itu menjalankan syari$B!G(Bat
agama yang dipeluknya itu? Jadi memang lain cara
pandang pemikian ortodok dan liberal dalam Islam.

Kedaulatan dalam PJ dan PU45
Masalah ini juga sering tidak dicermati rupanya baik oleh
pendukung maupun yang kontra terhadap implementasi
PJ. Sekilas menang Negara Republik Indonesia yang
dirumuskan dalam PJ maupun PU45 adalah sama. Suatu
negara republik, bukan kerajaan, yang BERKEDAULATAN
RAKYAT. Bila boleh disetarakan dengan istilah yang lebih
umum adalah Negara Republik Indonesia yang Demokratis.
Sehingga dapatlah diartikan sebagai Negara Republik
Demokrasi Indonesia.

Dalam PU45 rumusan negara republik yang demokratis itu
sangatlah indah, karena rumusan dasar bernegaranya sudah
berupa anak-anak kalimat yang relatif mandiri. Negara
Republik Demokrasi Indonesia itu adalah negara yang:
1) rakyatnya Bertuhan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Apakah ada yang berani menafsirkan ada bermacam-
macam tuhan dengan imbuhan kondisional Tuhan Yang
Maha Esa? Tuhan bangsa Indonesia adalah satu.
2) ber-kemanusiaan yang adil dan beradab. Mengingat
bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk.
3) bersatu dalam Persatuan Indonesia; mengingat
wilayah geografis negeri yang berpulau-pulau dan
sangat luas. Kemajemukan suku bangsa dan budaya
serta kondisi kepulauan mensyaratkan persatuan
untuk lahir sebagai satu bangsa dalam satu negara.
4) berkehidupan atau berkedaulatan rakyat dengan
pucuk pimpinan adalah hikmah-2 yang dicapai baik
dalam permusyawaratan maupun mufakat-mufakat
bijak dalam sistem perwakilan. 5) dengan sistem
kehidupan berbangsa dalam kerakyatan yang demikian,
artinya bertuhan yang mahaesa, berkemanusiaan
yang adil dan beradap, dan bersatu, maka diharapkan
dapat mewujudkan keadilan sosial (keadilan dalam
bermasyarakat) seluruh rakyat Indonesia.

Bagaimanakah dengan PJ? Rakyat Indonesia yang
dirumuskan dalam PJ adalah 1) sekedar bertuhan,
kecuali untuk umat Islam yang perlu persyaratan,
yang berarti melanggar ketentuan berikutnya yaitu
2) menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradap.
Adanya pengecualian dalam bertuhan, tentunya
berpotensi untuk merapuhkan 3) Persatuan Indonesia.
4) Sistem kerakyatan atau menjalankan kedaulatan
rakyatnya jauh berbeda dengan PU45, walaupun
hanya dibedakan oleh tanda $B!H(B/$B!I(B. Dalam PJ jelas
yang bermusyawarah hanyalah perwakilan rakyat
saja. Wakil rakyat akan menjadi super-body. Mungkin
seperti keadaan parlemen sekarang ini adalah salah
satu embrio implementasi sistem kerakyatan dalam
PJ, yang ternyata tidak mampu mewujudkan
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Melainkan cukup di tingkat para wakil rakyat saja

perkembangan HAM di indonesia

Pemahaman Ham di Indonesia sebagai tatanan nilai, norma, sikap yang hidup di masyarakat dan acuan bertindak pada dasarnya berlangsung sudah cukup lama. Secara garis besar Prof. Bagir Manan pada bukunya Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia ( 2001 ), membagi perkembangan HAM pemikiran HAM di Indonesia dalam dua periode yaitu periode sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 ), periode setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang ).
A. Periode Sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 )
• Boedi Oetomo, dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi – petisi yang dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat.
• Perhimpunan Indonesia, lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri.
• Sarekat Islam, menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial.
• Partai Komunis Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak – hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu – isu yang berkenan dengan alat produksi.
• Indische Partij, pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.
• Partai Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan.
• Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak politik yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara.
Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan dan lisan.
B. Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang )
a) Periode 1945 – 1950
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam hukum dasar Negara ( konstitusi ) yaitu, UUD 45. komitmen terhadap HAM pada periode awal sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945.
Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.
b) Periode 1950 – 1959
Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini menapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “ pasang” dan menikmati “ bulan madu “ kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai – partai politik dengan beragam ideologinya masing – masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul – betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
c) Periode 1959 – 1966
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi Parlementer. Pada sistem ini ( demokrasi terpimpin ) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur poltik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan dan hak politik.
d) Periode 1966 – 1998
Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968 diadakan seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil ( judical review ) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang Hak – hak Asasi Manusia dan Hak – hak serta Kewajiban Warganegara.
Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai –nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh Negara – Negara Barat untuk memojokkan Negara yang sedang berkembang seperti Inonesia.
Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama dikalangan masyarakat yang dimotori oleh LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat ) dan masyarakat akademisi yang concern terhaap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seprti kasus Tanjung Priok, kasus Keung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif menjadi ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM ) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993.
Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyeliiki pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM.
e) Periode 1998 – sekarang
Pergantian rezim pemerintahan pada tahan 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang beralwanan dengan pemjuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen Internasional dalam bidang HAM.
Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap status penentuan dan tahap penataan aturan secara konsisten. pada tahap penentuan telah ditetapkan beberapa penentuan perundang – undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi Negara ( Undang – undang Dasar 1945 ), ketetapan MPR ( TAP MPR ), Undang – undang (UU), peraturan pemerintah dan ketentuan perundang – undangam lainnya.

kasus HAM lapindo

Oleh Subagyo, SH - Pengacara tinggal di Surabaya
Jika hukum HAM internasional dikaitkan dengan kasus semburan lumpur Lapindo, maka bos Grup Bakrie dan pemerintah dalam pengusahaan Blok Brantas tersebut dapat diadili di Pengadilan HAM. Tapi bisakah - dalam praktiknya - hukum HAM berjalan tanpa intervensi politik? Itulah masalah besar praktik penegakan hukum kita selama ini. Reformasi jatuh tersandung di soal itu.
*** 
Hingga hari ini semburan lumpur Lapindo sampai pada fase yang terus mengkhawatirkan, dengan korban terus bertambah. Akibat semburan lumpur yang hampir genap dua tahun itu telah semakin memperberat dan memperluas penderitaan sosial. Jika semburan lumpur itu berjalan hingga 50 tahun, Greenomics menghitung biaya penanggulangan masalah lumpur Lapindo itu akan menjadi Rp. 756 triliun (Hukumonline.com, 13/2/2007).

Sedangkan trio pemegang partisipating interest Blok Brantas yang terdiri dari Grup Bakrie, Medco dan Santos menanggung hanya Rp. 5 triliun sesuai janji mereka yang berlindung di balik jubah Perpres No. 14/2007.

Jika itu benar, negara akan menanggung Rp. 751 triliun, jika tak ada upaya keras lebih lanjut untuk menghentikan semburan lumpur Lapindo. Upaya penghentian semburan lumpur pernah dilakukan tapi dihentikan dengan alasan `dana.´ Lalu ditumpuki dengan pendapat sekelompok ahli geologi yang memustahilkan upaya penghentian semburan. Ini menjadi misteri tersendiri yang perlu dikuak.

Unsur kesengajaan
Kejaksaan RI hingga kini tampak ragu dengan setumpuk alat bukti pidana kasus semburan lumpur itu, maka patut dipertanyakan. Pasalnya, selain telah adanya berbagai alat dan barang bukti, ada juga acuan dokumen otentik, yaitu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tertanggal 29 Mei 2007 yang sudah sangat gamblang menjelaskan berbagai pelanggaran dalam proses peralihan Blok Brantas hingga kesalahan proses eksplorasi. Kejaksaan seharusnya tidak terjebak dalam kancah perbedaan pendapat para ahli geologi. Bukankah selama ini para koruptor yang diadili juga `menyewa´ ahli dan perkaranya tetap dibawa ke pengadilan?

Berdasarkan hasil audit BPK, ditemukan fakta bahwa lokasi pemboran Sumur Banjar Panji (BJP)-1 berada 5 meter dari wilayah permukiman, 37 meter dari sarana umum (jalan tol Surabaya - Gempol) dan kurang dari 100 meter dari pipa gas Pertamina. Selain Sumur BJP-1, terdapat sejumlah sumur-sumur eksploitasi (sudah produksi) yang dikelola oleh Lapindo yang jarak lokasinya kurang 100 meter dari permukiman. Pemberian ijin lokasi pemboran sumur migas yang berdekatan dengan permukiman dan sarana umum serta obyek vital tidak sesuai dengan Ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia No.13-6910-2002 tentang operasi pengeboran darat dan lepas pantai di Indonesia yang antara lain menyebutkan bahwa sumur-sumur harus dialokasikan sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, rel kereta api, pekerjaan umum, perumahan atau tempat-tempat lain dimana sumber nyala dapat timbul.

Pemberian ijin lokasi sumur eksplorasi Migas di wilayah pemukiman juga tidak sesuai dengan Inpres No. 1/1976 tentang sinkronisasi pelaksanaan tugas bidang keagrariaan dengan bidang kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum dan UU No. 11/1967. Lokasi pemboran Sumur BJP-1 juga tidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo yang ditetapkan dengan Perda Kabupaten Sidoarjo No.16 tahun 2003. Pada saat ijin lokasi diberikan kepada Lapindo, Perda tersebut belum direvisi. Menurut Pemkab Sidoarjo, terkait dengan RTRW, ijin lokasi diberikan dengan mempertimbangkan kelayakan teknis yang dikeluarkan oleh BP Migas. Jadi, jelas adanya konspirasi hitam itu.

Akal sehat semua orang bisa memikirkan bahwa kegiatan eksplorasi migas yang berdekatan dengan pemukiman penduduk sudah pasti mengandung risiko atau dampak yang besar. Dengan hanya dasar itu pula hukum dapat menyimpulkan bahwa hak pengusahaan Blok Brantas yang diperoleh Lapindo adalah ilegal sebab melanggar berbagai aturan keselamatan sosial.

Meskipun seandainya semburan lumpur Lapindo tersebut bukan suatu niatan, tetapi jika semburan lumpur itu merupakan kemungkinan yang dapat dipikirkan sebelumnya yang akan mengakibatkan nasib buruk masyarakat di sekitarnya, maka unsur `kesengajaan´ itu dapat dilekatkan pada perkara semburan lumpur Lapindo itu, apalagi ternyata BPK juga menemukan banyaknya pelanggaran kaidah keteknikan yang baik dalam proses eksplorasi, yang mengakibatkan semburan lumpur tersebut. Jadi, kasus semburan lumpur Lapindo itu bukan `kelalaian´ tapi sengaja menabrak rambu-rambu keselamatan sosial.


Pelanggaran HAM berat
Melihat fakta-fakta pelanggaran konspiratif dalam perolehan ijin eksplorasi, pengawasan pemerintah yang tidak serius kepada Lapindo, termasuk pembiaran penggunaan peralatan dan teknologi pemboran yang asal-asalan, prediksi geologis pemboran Sumur BJP-1 yang banyak kelirunya sehingga pelaksanaan pemboran menyimpang dari perencanaan, lalu menimbulkan semburan lumpur yang menghancurkan nasib masyarakat secara meluas yang ditangani dengan cara ketidakadilan, maka peristiwa itu dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM berat, dengan terusirnya kelompok penduduk akibat konspirasi pengelolaan usaha migas Blok Brantas itu.

Pelanggaran HAM berat yang dirumuskan pasal 9 huruf d dan e UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM menentukan: "Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa : ... d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; ..."

Penegak HAM harus memahami tafsir historis UU No. 26/2000 tersebut yang diadobsi dari Roma Statute of The International Criminal Court (Statuta Roma), yang memuat ketentuan tentang kejahatan kemanusiaan yang sangat serius (the most serious crimes) yang kemudian diterjemahkan menjadi `pelanggaran HAM berat´ oleh UU No. 26/2000. Tetapi pembuat UU No. 26/2000 memotong kalimat pada huruf k pasal 7 ayat (1) Statuta Roma yang menentukan bentuk kejahatan kemanusiaan lain, yaitu: Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health.

Nah, kiranya dengan menerapkan tafsir historis yang progresif terhadap hukum HAM internasional tersebut dikaitkan dengan kasus semburan lumpur Lapindo itu maka para pengambil keputusan di tubuh Grup Bakrie dan pemerintah dalam pengusahaan Blok Brantas tersebut dapat diadili di Pengadilan HAM. Tapi bisakah - dalam praktiknya - hukum HAM berjalan tanpa intervensi politik? Itulah masalah besar praktik penegakan hukum kita selama ini. Reformasi jatuh tersandung di soal itu.

Maka Komnas HAM selaku lembaga independen seyogyanya dijadikan komisi yang tak sebatas selaku penyelidik, tapi juga sebagai penyidik dan penuntut khusus dalam kasus pelanggaran HAM berat. UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 26/2000 harus diperbaiki guna menambah fungsi dan wewenang Komnas HAM itu.